Sejarah Peradaban Islam “ Islam dan Dunia Kontemporer ”

Kamis, 25 Januari 2024

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

oleh:  Mochammad Yusuf Rivaldi

PAI IIIC

 

 

Sekolah Tinggi Agama Islam (STAI) Al- Azhary Cianjur, Fakultas Syariah,

Prodi Hukum Keluarga Islam

Reaksi Pemikiran Islam Terhadap Globalisasi

Diambil dari peradaban dan kebudayaan Barat adalah sesuatu yang lumrah. Faktanya, ilmuwan banyak terkooptasi oleh peradaban Barat. Bahkan memaksakannya sebagai pandangan hidup. Suatu hal lumrah jika kebudayaan yang mundur akan belajar dari kebudayaan yang maju. Dan adalah alami jika suatu kebudayaan yang terbelakang mengadopsi konsep-konsep kebudayaan yang lebih maju. Tidak ada kebudayaan di dunia ini yang berkembang tanpa proses interaksi dengan kebudayaan asing. Ketika peradaban Islam unggul dibanding peradaban Eropa, misalnya, mereka telah meminjam konsep-konsep penting dalam Islam. Akan tetapi, tidak berarti bahwa semua kebudayaan dapat mengambil semua konsep dari kebudayaan lain. Setiap kebudayaan memiliki identitas, nilai, konsep dan ideologinya sendiri-sendiri yang disebut dengan worldview (pandangan hidup).

Seiring berkembangnya zaman, Islam pun turut berkembang, disebabkan adanya pemikiran Islam terhadap globalisasi, diantara pemikiran Islam yaitu: tradisionalis, modernis dan revivalis-fundamentalis. Yang masing-masin memiliki pemikiran dan tujuan yang berbeda. Sebagai manusia yang telah dianugerahi akal oleh sang pencipta, patutlah menjadikan akal yang selalu berfikir dan tidak kaku. Apalagi sebagai umat Islam harus pintar dan cerdas mengamalkan ajaran Islam yang sesuai dengan Al-Quran dan As-Sunnah.

Menurut Jamal al-Din al-Afghani, seorang Persia dan Muh Abduh, seorang reformis Muslim Mesir  Abdurrahman (1995: 63), berpendapat bahwa faktor utama yang menyebabkan keterbelakangan umat Islam dibandingkan dengan negara-negara Barat adalah kenyataan bahwa sejak abad ke-9, pintu ijtihad  ditutup oleh para ulama. Hal inilah yang menghalangi kemungkinan ditemukannya Al-Qur’an dan Sunnah, belum lagi fakta bahwa umat Islam telah lalai dalam melestarikan beberapa bidang ilmu  yang bermanfaat.

Pada saat yang sama, Sayid Ahmad Khan,  seorang reformis India, menegaskan dalam Abuddin Nata (378-380)  bahwa untuk mencapai kemajuan, seseorang harus percaya bahwa hukum alam dan wahyu Al-Qur’an tidak bertentangan satu sama lain, karena keduanya berasal dari Tuhan dan perlu adanya penghapusan atau meninggalkan Pemahaman taklid dan digantikan dengan pemahaman ijtihad.

Yang menjadi pertanyaan apakah budaya yang dilakukan oleh para pendahulu kita ini sudah sesuai dengan ajaran Islam yang sebenarnya, seperti budaya perayaan yang dikaitkan dengan tanggal lahir, misalnya : tingkeban, brokokan, pasar, pitonan, telonan, selapan dan tahunan.

 

  1. Islam Modernis dan Dunia Kontemporer

Kata modernisme tidak hanya berarti orientasi kepada kemoderenan, tetapi merupakan sebuah terminologi khusus yang intinya adalah memodernisasi pemahanan agama. Modernisme meyakini bahwa kemajuan ilmiah dan budaya modern membawa konsekuensi reaktualisasi berbagai ajaran keagamaan tradisional mengikuti disiplin pemahaman filsafat ilmiah yang tinggi. Di sisi lain, modernisme adalah sebuah gerakan yang begerak secara aktif untuk melumpuhkan prinsip-prinsip keagamaan agar tunduk kepada nilai-nilai, pemahaman, persepsi, dan sudut pandang Barat.

Modernisme Islam adalah sebuah pergerakan yang mencoba merukunkan agama Islam dengan nilai-nilai modern dari Barat seperti nasionalisme, demokrasi, hak-hak sipil, rasionalitas, kesetaraan, dan perjuangan sosial. Gerakan ini dapat berupa peninjauan secara kritis terhadap konsep-konsep lama dan metode-metode fiqih, serta penggunaan pendekatan tafsir yang baru. Pergerakan ini merupakan salah satu pergerakan Islam pertama yang muncul pada pertengahan abad ke-19 sebagai tanggapan terhadap perubahan pesat yang terjadi akibat dominasi Barat terhadap dunia Muslim. Para pendirinya meliputi Muhammad Abduh, seorang syeikh di Universitas Al-Azhar, dan Jamaluddin al-Afghani.

Tokoh-tokoh gerakan modernisme Islam pertama memakai istilah “salafiyya” untuk menyebut upaya mereka untuk membaharui pemikiran Islam, tetapi “gerakan salafiyya” sangatlah berbeda dengan aliran yang kini disebut Salafiyah.

Modernisme tidak sama dengan sekularisme karena para pendukungnya masih merasa bahwa agama memiliki peranan yang penting dalam kehidupan bernegara, sementara Salafiyah dan Islamisme juga bertolak belakang dengan modernisme Islam karena tokoh- tokoh modernis menerima lembaga dan nilai-nilai dari Eropa. Adapun Pemikiran Islam Kontemporer adalah Pemikiran Islam yang berkembang pada masa modern (Abad ke-19) hingga sampai saat ini. Ciri dari Islam Kontemporer yaitu berkembangnya metode pemikiran baru dalam menafsirkan Al-Qur’an dan peradaban Islam.

 

 

  • Hakikat dan Corak Pemikiran Kontemporer dalam Modernis

Moderinis yaitu model pemikiran yang hanya mengakui sifat rasional ilmiah dan menolak kecenderungan mistik. Menurutnya, tradisi masa lalu sudah tidak relevan, sehingga harus ditinggalkan. Karakter utama gerakannya adalah keharusan berpikir kritis dalam soal keagamaan dan kemasyarakatan. Mereka ini biasanya banyak dipengaruhi cara pandang marxisme. Meski demikian, mereka bukan sekuler.

Sebaliknya, mereka bahkan mengkritik sekuler selain salaf. Menurutnya, kaum sekuler telah bersalah karena berlaku eklektif terhadap Barat, sedang kaum salaf bersalah menempatkan tradisi klasik pada posisi sakral dan shalih likulli zaman wa makan. Sebab, kenyataannya, tradisi sekarang berbeda dengan masa lalu. Modernis menjadikan orang lain (Barat) sebagai model, sedang salaf menjadikan masa lalu sebagai model. Keduanya sama-sama ahistoris dan tidak kreatif, sehingga tidak akan mampu membangun peradaban Islam ke depan.

  • Kecenderungan Dalam Model Pemikiran Islam Kontemporer dalam Modernis

Kata modern, modernisme, modernisasi, modernitas, dan beberapa istilah yang terkait dengannya, selalu dipakai orang dalam ungkapan sehari-hari. Karena perubahan makna yang terdapat di dalamnya, istilah-istilah ini seringkali memiliki makna yang kabur. Modern adalah sebuah istilah korelatif, yang mencakup makna baru lawan dari kuno, innovative sebagai lawan tradisional. Meskipun demikian, apa yang disebut modern pada suatu waktu dan tempat, dalam kaitannya dengan budaya,tidak akan memiliki arti yang sama baik pada masa yang akan datang atau dalam konteks yang lain.

Bagi muslim modernis, Islam memberikan dasar bagi semua aspek kehidupan manusia di dunia, baik pribadi maupun masyarakat, dan yang dipandang selalu sesuai dengan semangat perkembangan. Oleh karena itu, bagi kaum modernis tugas setiap muslim adalah mengimplementasikan semua aspek ajaran Islam dalam kehidupan nyata. Dasar pandangan ini dibentuk oleh satu keyakinan bahwa Islam memiliki watak ajaran yang universal. Universalitas ajaran Islam ini dilihat dari sapekisi mencakup semua dasar norma bagi semua aspek kehidupan, baik yang berkaitan dengan persoalan ritual maupun sosial, dari aspek waktu, Islam berlaku sepanjang masa, dilihat dari aspek pemeluk, Islam berlaku untuk semua umat manusia tanpa memandang batasan etnik maupun geografis.

Di antara ciri dari gerakan Islam modern adalah menghargai rasionalitas dan nilai demokratis. Semua anggota memiliki hak yang sama dan semua tingkat kepemimpinan dipilih tidak diangkat. Tidak ada perbedaan antara warga biasa dan ulama menyangkut hak dan kewajiban organisasi. Gerakan ini di Indonesia memiliki pengaruh kuat di kalangan kelas menengah kota, mulai dari pengrajin, pedagang, seniman sampai para professional. Sebagai sebuah fenomena kota, di antara karakteristik gerakan ini adalah “melek huruf”, yang pada akhirnya ciri ini menuntut adanya pendidikan. Sehingga pendidikan merupakan program yang paling utama.

  1. Revivalis Fundamentalis

Jika pada abad klasik Eropa kagum melihat peradaban Islam, sebaliknya pada masa abad modern, Islam yang kagum melihat peradaban Eropa. Islam pada abad pertengahan telah memiliki orientasi peradaban yang berkutat kepada urusan agama dan tuhan serta mengesampingkan kehidupan riil di dunia. Para tokoh pembaharu Islam menyadari bahwa imperialisme Eropa terhadap peradaban Islam disebabkan keterbelakangan umat Islam dalam pendidikan, teknologi, sosial, politik, dan ekonomi. Sebab-sebab tersebut kemudian melahirkan kesadaran bahwa Islam harus bangkit supaya tidak selalu ditekan oleh bangsa Eropa melalui perubahan cara pandang Islam. Sejak itu Islam mulai diarahkan untuk rasional-ilmiah supaya dapat memecah masalah di kehidupan riil, baik dari pendidikan, sosial, politik, dan ekonomi, tanpa menghilngkan sisi religusnya. Salah satu upaya untuk menegaskan gerakan tersebut, melalui pemantapan ideologi dalam bidang pendidikan dan organisasi.

Sebagai ideologi gerakan Islam kontemporer, fundamentalisme mewujudkan diri dalam beragam bentuk, dan berkaitan erat dengan orientasi ideologi lain, seperti revivalisme, Islamisme (neo-fundamentalisme) dan radikalisme. Sekalipun pada mulanya fundamentalisme lebih menunjukkan watak keagamaan, ia kemudian lebih dipahami sebagai bentuk ekspresi Islam yang berdimensi politik. Hal ini mudah dipahami karena dalam perkembangannya fundamentalisme mewujudkan diri dalam bentuk kegiatan atau gerakan politik, yang bahkan seringkali bersifat radikal atau militan, melawan rejim penguasa sekular, atau berjuang untuk membangun system kenegaraan yang didasarkan pada syari‘ah (Islam).

Meskipun istilah fundamentalisme, revivalisme, Islamisme dan radikalis sering digunakan secara bergantian untuk maksud penyederhanaan (simplifikasi), kebanyakan sarjana mencoba melakukan identifikasi terhadap karakteristik masing- masing gerakan atau orientasi ideologinya. Para sarjana, seperti akan disebutkan, biasanya merujuk kepada gerakan-gerakan atau pemikir-pemikir Muslim yang memiliki kaitan dan afiliasi dengan gerakan Islam kontemporer tertentu di dunia Islam, seperti kawasan Timur Tengah, Afrika Utara, Indo-Pakistan dan Asia Tenggara. Mereka menemukan adanya beberapa karakteristik umum (common  characteristics) sekaligus keunikan (peculiarities) dari pelbagai gerakan “fundamentalisme” Islam.

Istilah fundamentalisme muncul dari luar tradisi sejarah Islam, dan pada mulanya merupakan gerakan keagamaan yang timbul di kalangan kaum Protestan di Amerika Serikat pada 1920-an. Menilik asal-usulnya ini, kita dapat mengatakan bahwa fundamentalisme sesungguhnya sangat tipikal Kristen.

Namun, terlepas dari latar belakang Protestan-nya, istilah fundamentalisme sering digunakan untuk menunjuk fenomena keagamaan yang memiliki kemiripan dengan karakter dasar fundamentalisme Protestan. Karena itu, kita dapat menemukan fenomena pemikiran, gerakan dan kelompok fundamentalis di semua agama, seperti fundamentalisme Islam, Yahudi, Hindu, dan Budhisme. Dalam hal ini, selain fundamentalisme tidak terbatas pada agama tertentu, dalam faktanya ia juga tidak hanya muncul di kalangan kaum miskin dan tidak terdidik. Fundamentalisme dalam bentuk apapun bisa muncul di mana saja ketika orang- orang melihat adanya kebutuhan untuk melawan budaya sekular(godless), bahkan ketika mereka harus menyimpang dari ortodoksi tradisi mereka untuk melakukan perlawanan itu.6

Salah satu karakteristik atau ciri terpenting dari fundamentalisme Islam ialah pendekatannya yang literal terhadap sumber Islam (al-Qur’an dan al-Sunnah). Literalisme kaum fundamentalis tampak pada ketidaksediaan mereka untuk melakukan penafsiran rasional dan intelektual, karena mereka -kalau-lah membuat penafsiran- sesungguhnya adalah penafsir-penafsir yang sempit dan sangat ideologis. Literalismeini berkoinsidensi dengan semangat skripturalisme, meskipun Leonard Binder membuat kategori fundamentalisme non-skriptural untuk pemikir fundamentalis seperti Sayyid Qutb.

  • Hakikat dan Corak Pemikiran Kontemporer Dalam Revivalis Fundamentalis

Fundamentalis yaitu model pemikiran yang sepenuhnya percaya pada doktrin Islam sebagai satu-satunya alternatif bagi kebangkitan Islam dan manusia. Mereka biasanya dikenal sangat commited pada aspek religius budaya Islam. Bagi mereka, Islam telah mencakup segala aspek kehidupan sehingga tidak memerlukan segala teori dan metode dari luar, apalagi Barat. Garapan utamanya adalah menghidupkan Kembali Islam sebagai agama, budaya sekaligus peradaban, dengan menyerukan untuk kembali pada sumber asli (al-Qur’an dan Sunnah) dan mempraktekkan ajaran Islam sebagaimana yang dilakukan Rasul dan Khulafa’ al- Rasyidin. Tradisi dan Sunnah Rasul harus dihidupkan kembali dalam kehidupan modern sebagai bentuk kebangkitan Islam.

  1. Transformatif

Gagasan transformatif merupakan alternatif dari ketiga respons umat islam di atas. Mereka percaya bahwa keterbelakangan umat islam disebabkan oleh ketidak adilan system dan struktur ekonomi, politik dan kultur. Oleh karena itu, agenda mereka adalah melakukan transformasi terhadap struktur melalui penciptaan relasi yang secara fundamental baru dan lebih adil dalam bidang ekonomi, politik dan kultur.

Kalangan teologi transformatif pula menyimpulkan bahwa agama dalam proses modernisasi sekarang ini melahirkan tiga corak, yaitu:

Pertama, tampil sebagai alat rasionalisasi atas modernisasi atau modernisme, dengan melahirkan perkembangan teologi rasional yang mengacu pada tumbuhnya kepentingan intelektualisme sekelompok akademikus. Kedua, sebagai alat legitimasi atas nama melancarkan dan mendukung berhasilnya program-program modernisasi. Program-program ini dirancang dan dilaksanakan secara teknokratis berdasarkan paradigma pertumbuhn ekonomi, dan bukan untuk pertumbuhan nilai-nilai dasar pembangunan harkat kemanusiaan sendiri. Dalam konteks seperti ini, konsep teologi yang dominan adalah teologi paralelisme yang bersifat jusdifikatif. Ketiga, kelompok masyarakat tertentu, terutama kaum dhuafa yang tidak terserap dalam dialog besar proses modernisasi dewasa ini, terpaksa menghanyutkan diri dalam impian teologi eskatologis yang bersifat eskapitis. Mereka tidak jarang menunjukkan sikap hidup fatalistis; “bahwa dunia adalah tempat bersinggah untuk minum”, bahwa “dunia hanyalah penjara bagi orang-orang yang beriman dan surga bagi orang-orang kafir”, dan lain sebagainya.

Yang paling penting, bahwa prinsip teologi transformatif itu tidak bersifat ortodoksi dan harus terkait dengan ortopraksis. Ia harus berwatak fasilitatif, dalam arti memberi fasilitas sebagai kerangka bacaan melihat realitas. Juga tidak ada hubungan patronklien dalam membaca kehendak Tuhan.dan mementingkan isi daripada bentuk ungkapan simbolis agama. Serta dengan jelas menuju cita-cita perwujudan masyarakat muttaqin, dengan setiap orang mempunyai derajat yang setara di hadapan kebenaran Allah SWT.

 

 

Penulis : Mochammad Yusuf Rivaldi

Editor : Abqo Robbani

Berita Terkait

Tak Kalah Dengan PNS, Negara Berikan 7 Fasilitas untuk Honorer yang Lolos PPPK Penuh Waktu
FEBI UIN SGD Bandung Tawarkan Prodi Halal
Ada Apa Dengan Kantin Sekolah?
Menyulap Limbah Jelantah Menjadi Rupiah : Kampus Pertama di Indonesia, Prodi PMI FDK UIN Bandung Gagas Inovasi UCOllect Box
PERKUAT KOLABORASI AKADEMIK, PRODI MD SELENGGARAKAN VISITING CLASS KE LEMBAGA DAKWAH
EKSISTENSI KEBUDAYAAN ISLAM ACEH TERHADAP KEUTUHAN BUDAYA INDONESIA
Sejarah masuknya islam Dan perkembagan Di Indonesia
REDAKSI DIALEKTIKAKITA.COM
Berita ini 22 kali dibaca

Berita Terkait

Sabtu, 19 April 2025 - 06:28 WIB

Program Wajib Militer Sudah Menjadi Wacana Diterapkan Di Indonesia, Kemenhan Rujuk UUD 1945

Jumat, 24 Mei 2024 - 20:06 WIB

Heboh Gabungan Ormas LSM dan Tokoh Masyarakat Geruduk Rumdin Wabup Kab.Bandung Sahrul Gunawan

Rabu, 24 Januari 2024 - 13:14 WIB

“Khadijah Binti Khuwailid Dan Perannya Dalam Perjuangan Rasulullah Saw”

Berita Terbaru

Upacara pembukaan pendidikan Taruna Akademi Militer (akmil.ac.id/2024)

Bandung

Lulus Daftar Akmil,… Kenali Materi Ujiannya

Sabtu, 19 Apr 2025 - 07:42 WIB