Bandung, dialektikakita.com – Upaya peningkatan moral aparatur sipil negara (ASN) sering kali menjadi tantangan tersendiri di tengah tekanan publik dan sorotan hukum yang kian tajam. Di antara strategi yang kerap ditempuh pemerintah daerah adalah kegiatan retreat forum refleksi dan pembinaan mental bagi pejabat publik. Dalam idealitasnya, kegiatan semacam ini dimaksudkan untuk memperkuat integritas, mempererat koordinasi, serta memulihkan semangat kerja pasca situasi penuh tekanan.
Namun, idealisme itu kerap berbenturan dengan persepsi publik. Di mata masyarakat, retreat pemerintah tidak jarang dipandang sebagai bentuk pelarian kolektif, terlebih jika dilakukan di tengah isu krisis prioritas dan minimnya transparansi penggunaan anggaran.
Kritik terhadap Waktu dan Konteks
Kegiatan retreat pejabat Kota Bandung, misalnya, menimbulkan beragam tanggapan. Pelaksanaannya berdekatan dengan mencuatnya kasus dugaan korupsi serta masih terjadinya sejumlah persoalan publik seperti banjir dan ambruknya fasilitas pendidikan. Dalam konteks demikian, publik wajar mempertanyakan urgensi kegiatan tersebut.
Di satu sisi, pejabat memang memerlukan ruang refleksi untuk menata kembali semangat kerja dan moralitas birokrasi. Namun di sisi lain, waktu pelaksanaan yang tidak sensitif terhadap kondisi masyarakat berpotensi memunculkan kesan bahwa pemerintah lebih sibuk “menyembuhkan diri” ketimbang menyelesaikan masalah di lapangan. Kegiatan di luar kota pun mudah diasosiasikan sebagai ajang rekreasi menggunakan dana publik.
Masalah Transparansi dan Efektivitas Biaya
Isu lain yang tak kalah penting adalah transparansi anggaran. Menggelar retreat dua hari untuk lebih dari dua ratus pejabat tentu memerlukan biaya besar dari APBD—mulai dari akomodasi, konsumsi, hingga transportasi. Pertanyaannya: apakah manfaat yang dihasilkan sepadan dengan biaya yang dikeluarkan?
Kritik tajam muncul ketika kegiatan serupa hanya menghasilkan slogan moralitas dan janji perbaikan tanpa tindak lanjut nyata. Jika tidak disertai pembenahan sistem kerja, penyederhanaan SOP pelayanan publik, dan penegakan disiplin bagi ASN bermasalah, maka retreat semacam ini hanya menjadi kosmetik anggaran—upaya mempercantik citra birokrasi tanpa perubahan substansial.
Antara Investasi dan Pemborosan
Akhirnya, penilaian terhadap retreat pejabat bergantung sepenuhnya pada pelaksanaannya.
Kegiatan tersebut dapat disebut sebagai penghabisan anggaran apabila hanya diisi dengan retorika dan motivasi tanpa dampak nyata terhadap perilaku birokrasi. Sebaliknya, retreat bisa menjadi investasi moral dan kelembagaan apabila menghasilkan rencana aksi terukur, mendorong pencegahan korupsi, serta memperkuat komitmen pelayanan publik yang bersih dan efisien.
Pada titik ini, publik menunggu bukti. Jika biaya besar itu benar-benar melahirkan birokrasi yang tangguh, transparan, dan berorientasi pelayanan seperti dijanjikan oleh Wali Kota Bandung maka kegiatan tersebut pantas disebut investasi. Tetapi bila tidak, publik berhak menilai bahwa yang tersisa hanyalah “healing” dengan uang rakyat.
Editor : Jajang Fauzi
Sumber Berita : Mata30news.com











