Oleh: Hj. Dea Mardiyanti, SH., M.H., CR., BC.
Opini/ JournalNusantara.com – Masyarakat Sunda Parahiangan, yang mendiami wilayah Priangan, Jawa Barat, memiliki sistem nilai dan filosofi kepemimpinan yang sudah diterapkan sejak zaman kerajaan Sunda kuno (Galuh, Pajajaran, dan Salakanagara). Hasil penelusuran penulis, filosofi kepemimpinan itu sudah tercermin dalam konsep Astabrata, Tritangtu di Buana dan beragam siloka, kirata yang kini menjadi beragam simbol etis para pemimpin Sunda dalam mengelola ketatanegaraan.
Filosofis kepeminpinan Sunda dalam mengelola ketatanegaraan memang sudah ada sejak lama. Bahkan, filosifis ini diturunkan dari satu generasi ke generasi berikutnya sehingga menjadi norma yang berbasis kearifan budaya lokal yang patut ditaati oleh para pemimpin Sunda. Ituah esensi internaisasi dari teori kontruksi realitas sosial yang ditelurkan oleh Berger dan Luckmann.
Teori tersebut memiliki tiga dimensi yakni eksternalisasi, objektivasi dan internalisasi. Pengetahuan diperleh seseorang dari hasil dialektika dengan lingkungannya. Sebuah realitas yang menginternalisasi pada diri seseorang lambat laun akan menjadi norma atau aturan bagi individu, komunitas, atau organisasi tertentu. Karenanya, Astabrata, dan Tritangtu di Buana, merupakan norma atau etik yang sudah menginternalisasi pada masyarakat Sunda, kemudian diturunkan oleh para leluhur ke generasi berikutnya. Sehingga, nilai-nilak etik kehidupan Astabrata dan Tritanggu di Buana tetap tetap bertahan dan tidak akan punah ditelan zaman.
Astrabrata
Secara etimologi Astabrata berasal dari kata asta (delapan) dan brata (sifat/laku). Astrabrata, sebuah simbol yang bermakna pemimpin yang meneladani karakter delapan elemen alam. Simbol pun dimaknai keseimbangan antara kekuatan, kelembutan, dan kebijaksanaan. Astabrata tiada lain delapan simbol alam yang menggambarkan tentang kebijakan seorang pemimpin dalam mengelola ketatanegaraan. Astrabrata terdiri dari delapan elemen alam yang akrab dengan kehidupan manusia mulai dari bumi, gunung, laut, api, matahari, bulan, angin dan air.
Bumi (Lemah) elemen pertama dalam Astabrata. Bumi merupakan simbol kesabaran dan keteguhan. Bumi memiliki makna keteguhan dan kesabaran. Bumi menopang kehidupan tanpa pamrih. Pemimpin harus menjadi fondasi yang stabil bagi rakyatnya. Ia wajib adil dalam membagi sumber daya, tidak memihak, dan mengutamakan kepentingan umum. Seorang pemimpin harus bijak dalam meredistribusi lahan untuk petani miskin, seperti Prabu Siliwangi dalam mengelola wilayah Pakuan Pajajaran. Di era modern ini para pemimpin seringkali melaupkan bumi, padahal bumi melambangkan kesabaran pemimpin dalam merancang berbagai kebijakan.
Gunung (Pasir) elemen kedua Astabrata . Gunung merupakan lambang kewibawaan dan perlindungan. Serang pemipin merujuk simblo ini harus tinggi wawasannya, menjadi panutan, dan melindungi rakyat dari ancaman. Masih ingat kisah inspiratif dalam pantun Bogor? Prabu Tapa Agung dikenal sebagai pemimpin yang membangun benteng pertahanan untuk melindungi rakyat dari serangan musuh. Relevansi kisah ini dengan kekinian, pemimpin perlu tegas menghadapi korupsi, radikalisme, atau ketimpangan sosial sebagai bentuk “perlindungan” terhadap hak rakyat.
Laut (Samudra) melambangkan kedalaman llmu dan kerendahan hati. Pemimpin harus berilmu luas namun rendah hati. Ia harus mampu menampung aspirasi rakyat, seperti laut yang menerima semua aliran sungai. Filosofi Sunda: “Herang caina, benang laukna” (Jernih airnya, dapat ikannya). Ungkapan ini mengajarkan pemimpin yang bijak tidak mudah terbaca, tetapi transparan dalam tindakan. Seorang pemimpin memerlukan data hasl riset untuk mengambil sebuah kebijakan, dan tidak lupa ia menerima kritik.
Api (Seuneu) melambangkan semangat dan ketegasan. Pemimpin harus berani mengambil keputusan sulit untuk kebaikan bersama, seperti memberantas praktik korupsi atau reformasi birokrasi. Kisah Ratu Shima dari Kerajaan Kalingga (Jawa Tengah) yang menghukum mati putranya sendiri karena mencuri. Kisah ini mencerminkan ketegasan tanpa kompromi.
Matahari (Panonpoé) melambangkan penerang dan inspirator. Matahari sumber kehidupan yang menerangi kegelapan. Pemimpin harus menjadi pencerah yang transparan, memberikan edukasi, dan menginspirasi inovasi. Program Sunda Membaca yang digagas pemerintah daerah bertujuan untuk meningkatkan literasi, atau penggunaan teknologi dalam pelayanan publik, merupakan salah satu bukti nyata dari aplikaksi simbol matahari.
Bulan (Sasih) memiliki makna kelembutan dan empati. Pemimpin harus peka terhadap penderitaan rakyat, seperti bulan yang menyinari malam dengan cahaya redup namun menenangkan. Tradisi “Silih Asih, Silih Asuh, Silih Asah” (saling mengasihi, merawat, dan mendidik) menjadi dasar kebijakan inklusif bagi kelompok rentan.
Air (Cai) memiliki makna fleksibilitas dan adaptasi. Air mengalir luwes mengikuti medan, tetapi memiliki kekuatan menghancurkan batu. Pemimpin harus fleksibel dalam menghadapi perubahan zaman, namun tetap berpegang pada prinsip kebenaran.Misalnya, kebijakan adaptasi perubahan iklim di Jawa Barat dengan memadukan teknologi modern dan kearifan lokal “huma” (sistem pertanian tradisional).
Angin (Bayu) bermakna komunikasi dan keterbukaan. Angin menyebar ke segala penjuru, membawa pesan. Pemimpin harus komunikatif, transparan, dan membuka ruang dialog dengan rakyat. Misalnya dkibentuk Forum “Mujaer” (Musyawarah Rakyat Elektronik) yang diinisiasi pemerintah daerah untuk menerima masukan publik secara digital.
Tritangtu di Buana
Trilogi Kekuasaan yang Menjaga Keseimbangan. Konsep Tritangtu di Buana (tiga penjaga dunia) merupakan sistem pemerintahan yang menekankan kolaborasi tiga entitas: Karatuan (pemimpin politik), Kaprabuan (tetua/adat), dan Karesian (cendekiawan/spiritual). Berikut analisis mendalam ketiga pilar tersebut:
Karatuan (Prebu/Raja). Sososk pemegang kekuasaan politik. Tugas utamanya menjaga stabilitas negara melalui hukum yang adil. Mengelola sumber daya alam dan ekonomi untuk kesejahteraan rakyat. Memimpin diplomasi dengan kerajaan lain. Prabu Siliwangi dikenal sebagai raja yang menjalin hubungan damai dengan Demak dan Cirebon, menjaga kedaulatan tanpa konflik. Era kekinian atau era modern seorang presiden atau gubernur sebagai “Prebu modern” harus mengedepankan dialog antarwilayah dan transparansi anggaran.
Kaprabuan (Rama/Tetua): Penjaga Kebijaksanaan Adat. Peran: Memberi nasihat berdasarkan kearifan lokal dan pengalaman. Menjadi mediator dalam sengketa adat atau sosial. Memastikan kebijakan pemerintah selaras dengan nilai budaya. Dalam sengketa tanah, tetua adat Sunda menggunakan prinsip “Gugur Gunung” (gotong royong) untuk mencapai kesepakatan tanpa pengadilan. Dewan Adat atau LSM budaya dapat berperan sebagai “Rama” yang mengawasi kebijakan pembangunan agar tidak merusak situs budaya.
Karesian (Resi/Cendekiawan) memiliki makna penjaga ilmu dan Spiritualitas. Tugasnya adalah mengembangkan ilmu pengetahuan dan spiritualitas. Mengkritik kebijakan yang bertentangan dengan moral dan ekologi. Menjadi guru bagi masyarakat dan pemimpin. Figur Legendaris: Resi Wisnu dari kerajaan Sunda kuno yang menulis naskah tentang etika pemerintahan. Modernisasi: Akademisi, ulama, dan aktivis lingkungan berperan sebagai “Resi” yang mengingatkan pemerintah tentang keberlanjutan ekologis. Dalam prakteknya, ketiga pilar saling mengontrol dan melengkapi. Raja tidak bisa bertindak otoriter karena harus berkonsultasi dengan tetua dan resi. Sistem ini mencegah penyalahgunaan kekuasaan, mirip dengan prinsip checks and balances dalam demokrasi modern.
Bahasa Siloka dan Kirata
Bahasa siloka (peribahasa Sunda) mengandung ajaran moral cukup mendalam. Hasil penelusuran penulis didapat beragam simbol yang relevan dengan kepemimpinan, dan hingga kini masih menjadi petunjuk kehidupan masyarakat Sunda. ajaran. Beragam simbol tersebut di antaranya: “Jadi Pamimpin Ulah Cacag Nangkaeun, Dina Nangtuken Aturan”. Maknanya, kebijakan harus dirancang matang, melibatkan partisipasi publik, dan mempertimbangkan dampak jangka panjang. Studi Kasus: UU Cipta Kerja yang menuai protes karena dianggap terburu-buru dan tidak melibatkan konsultasi publik.
Pamimpin Dina satiap Menang Beja Kudu Asak Jejehan…” Pemimpin harus memiliki bobot (substansi), pangayon (kelembutan), dan timbang taraju (keadilan). Kasus korupsi dana COVID-19 menunjukkan betapa pemimpin mudah tergoda oleh “kabobodo” (kebodohan) dan “kasamaran” (keserakahan). “Ulah Neangan Bener Komo Neangan Salah…”Kepemimpinan bukan pertarungan ego, tetapi upaya menciptakan maslahat (kebaikan bersama). Praktik Baik: Mediasi konflik agraria dengan prinsip “win-win solution” alih-alih menggunakan kekerasan.
Kepemimpinan yang disimbolisasikan dengan kirata di antaranya: Pamimpin Kudu Bisa Nganjang Kapageto, Ulah Nangtuken Aturan Kira-Kira”. Maknanya, seorang pemimpin harus mampu memprediksi dampak kebijakan, bukan asal menetapkan aturan. Prinsip ini menekankan: kajian empiris. Setiap kebijakan harus melalui riset mendalam (dikaji, ditaliti). Misalnya, kebijakan pengelolaan Sungai Citarum harus melibatkan ahli ekologi, masyarakat lokal, dan mempelajari dampak historis seperti banjir Bandang 1986.
Beragam simbol ketatanegaraan versi budaya sunda ternyata penuh dengan nilai moral. Sayang, era modern bergam simbol tersebut nyaris terlupakan. Banyak oknum pejabat korupsi merupakan cerminan jika pejabat itu melupakan Astabrata. Korupsi, dan tingginya kasus eksploitasi sumber daya alam salah satu indikator perilaku negatif pejabat melanggar prinsip gunung dan cai.
Mengembalikan moral seorang pemimpin ke depan, saya berpandangan perlu sebuah langkah nyata untuk mengintegrasikan kearifan Sunda dalam kurikulum sekolah. Hanya dengan gerakan ini kita dapat merajut kembali jati diri kepemimpinan Sunda yang kuat nilai Astabrata, Tritangtu di Buana, serta siloka dan kirata. Pemimpin sejati tidak memandang beragam simbol ketatanegaraan hanya sekadar warisan masa lalu, tetapi diterapkan sebagai panduan hidup yang relevan untuk menjawab kompleksitas zaman.
Mengintegrasikan kearifan lokal dalam tatakelola negara merupakan salah satu solusi atas krisis moral yang terjadi seama ini. Pemimpin kekinian perlu meneladani keteguhan bumi, kewibawaan gunung, dan kebijaksanaan resi untuk menciptakan pemerintahan yang “gemah ripah loh jinawi”. Kita patut mempertimbangkan Pembentukan Dewan Astabrata agar ke depan lahir generasi penerus bermoral, dan bukan generasi penenrus ndasmu.(Penulis adalah praktisi dan akademisi hukum adat Sunda, dan tinggal di Tasikmalaya).
Penulis : Rimba Raya
Sumber Berita : Disarikan dari berbegai sumber.