CIANJUR, dialektikakita.com — Kebijakan baru Pemerintah Kabupaten Cianjur terkait insentif bagi guru ngaji menuai kekecewaan. Para ustaz di Desa Mulyasari, Kecamatan Cilaku, menyuarakan keresahan setelah diberlakukannya Peraturan Bupati (Perbup) Cianjur Nomor 4 Tahun 2025 tentang Pedoman Pemberian Insentif Guru Ngaji.
Dalam peraturan tersebut, setiap desa kini hanya diperbolehkan memberikan insentif kepada satu orang guru ngaji. Ketentuan ini dinilai tidak berpihak dan menimbulkan kecemburuan sosial, terutama di daerah yang memiliki banyak pengajar Al-Qur’an aktif.
Kepala Desa Mulyasari, Dewi Susanti, menyampaikan keberatan atas kebijakan itu saat sosialisasi peraturan yang digelar di kantor desa, Selasa (21/10/2025). Kegiatan tersebut turut dihadiri para guru ngaji yang tergabung dalam Gabungan Ustaz Mulyasari (GUM).
“Dulu insentif bisa diberikan tiga kali dalam setahun untuk masing-masing RT. Sekarang hanya satu orang per desa. Ini tentu menimbulkan rasa tidak adil di tengah masyarakat,” ujar Dewi dalam sambutannya.
Ia menilai, meskipun alasan kebijakan adalah efisiensi anggaran, dampaknya justru menempatkan pemerintah desa dalam posisi sulit. Di satu sisi, mereka wajib menjalankan peraturan daerah. Namun di sisi lain, mereka juga menyaksikan langsung dedikasi para guru ngaji yang selama ini membina generasi muda tanpa pamrih.
“Kami prihatin. Para ustaz ini memiliki pengabdian luar biasa, tapi justru kebijakan ini mengabaikan kontribusi mereka. Kami berharap aturan ini dapat dievaluasi kembali agar lebih adil,” ujarnya.
Kritik juga datang dari Ketua GUM, Ustaz Aceng Jaelani. Menurutnya, kebijakan baru ini tidak hanya membatasi penerima insentif, tetapi juga menambah beban administratif bagi para guru ngaji.
“Prosedurnya rumit, harus bikin rekening dan melengkapi berbagai berkas, tapi hanya satu orang yang mendapat bantuan. Kami meminta agar mekanisme lama dikembalikan, karena lebih adil dan tepat sasaran,” kata Aceng.
Meski demikian, ia menegaskan, semangat para guru ngaji untuk mengajar tidak akan surut hanya karena insentif dihentikan.
“Kami mengajar bukan karena insentif. Ini soal tanggung jawab moral dan niat ibadah. Tapi tetap, pemerintah seharusnya tidak menutup mata atas peran kami,” ujarnya.
Keresahan para pengajar Al-Qur’an ini menjadi pengingat bagi pemerintah daerah agar kebijakan yang diambil tidak mengabaikan aspek keadilan sosial, terutama bagi mereka yang selama ini menjadi garda terdepan dalam pembinaan keagamaan di masyarakat.
Penulis : Zank
Editor : Jajang Fauzi
Sumber Berita : Kontributor Cianjur











