Oleh : Ai Atikah,Nyimas Dinar Misik,Ajeng purnama Dewi,Lina Pusvisasari
(Mahasiswa STAI AL -Azhary Cianjur)
Sebagai Pemenuhan Tugas Penulisan Karya Ilmiah dan Publikasi Jurnal Ilmiah Sejarah Peradaban Islam
.
Islam disebarkan ke Jawa oleh seorang misionaris dari Persia bernama Fatahirah (Falatehan). Sesampainya di Jawa, ia lebih dikenal dengan nama Sunan Gunung Jati. Menurut sejarah, Aceh telah membentuk kehidupan dan peradaban Islam selama ratusan tahun antara abad ke-16 dan ke-17, sehingga sistem kehidupan masyarakat Aceh tidak dipengaruhi oleh adat istiadat dan didasarkan pada syariat, atau pemisahan adat istiadat. mampu melakukannya. Hal ini sangat erat kaitannya dengan Syariat Islam yang diamalkan dalam filsafat. kehidupan masyarakat Aceh. Kemiripan keakraban ini terlihat dalam ungkapan Hadi Maja yang sangat populer: “Adat ngon fukom hanjuut kuli rajhi arat ngon sipheut.” Kedekatan adat istiadat dengan syariat Islam didasari oleh masa sejarah masyarakat Aceh yang kaya akan nuansa keislaman dalam berbagai bidang kehidupan. Dari kebiasaan-kebiasaan masyarakat yang telah lama ada, ada pula yang (adat istiadat) membentuk suatu pola yang baku, sehingga bermuara pada munculnya adat istiadat Aceh.
Mengenai kebudayaan masyarakat Nangroe Aceh Darussalam, kita mengetahui dari sejarah bahwa dahulu unsur pengikat yang paling kuat adalah perekat teologis, yang dapat diartikan sebagai ikatan keagamaan yang terkristalisasi dalam adat istiadat. Syariat Islam yang muncul dalam masyarakat tradisional Aceh bukan sekedar wacana, namun juga kesadaran moral dan praktik seluruh masyarakat. Hal inilah yang terekam dalam ungkapan Hadi Maja di atas. Jelas terlihat bahwa penerimaan Islam oleh masyarakat Aceh merupakan suatu proses yang damai, apalagi jika Hadi Maja dikaitkan dengan aspek sejarah perkembangan agama di nusantara. Dapat dikatakan bahwa proses Islamisasi di Aceh berujung pada pilihan identitas sosial dalam masyarakat. Pengadopsian kafa Islam sebagai identitas dimulai pada masa Hadi Majah. Boleh dikatakan, masyarakat Aceh sejak awal memang sudah menentukan pilihan untuk menjadikan Islam sebagai identitas sosialnya.
Hadi Majah ini mendukung tesis bahwa Islam adalah identitas masyarakat Aceh. Sebab, telah dilakukan penelitian lebih mendalam bahwa nilai-nilai sosial dan budaya masyarakat Aceh lebih terbuka secara filosofiskarena memiliki nilai-nilai demokratis, egaliter, dan apresiatif. Hal itu bisa dibuktikan jika Anda melakukannya. Nilai-nilai tersebut pada hakikatnya merupakan nilai universal ajaran Islam. Bagi masyarakat Aceh, ajaran Islam beserta makna dan simbolnya tertanam baik dalam sikap maupun pola pikir masyarakat. Segala tindakan anggota masyarakat selalu mengacu pada norma dan standar berdasarkan ajaran Islam. Bahkan pada masa Aceh, aturan adat tersebut dikodifikasikan dalam Meukta Alam Adat, sebuah karya acuan tentang adat istiadat masyarakat Aceh. Proses Islamisasi para saudagar ini juga erat kaitannya dengan pengaruh adat istiadat asli masyarakat Aceh, dan ajaran Islam mudah diterima, diserap, dan diamalkan dalam kehidupan keagamaan masyarakat Aceh. Adat ini harus dihormati. Akulturasi budaya masih terlihat hingga saat ini dalam proses masuknya ajaran Islam, khususnya dalam ritual adat. Pengaruh adat dan agama terhadap pola perilaku sosial budaya masyarakat Aceh, seperti halnya Peusijuk, sebenarnya dinilai sangat penting dan harus dilestarikan keberadaannya. Berdasarkan semangat kedua daerah tersebut, Aceh mendapat predikat “Daerah Istimewa Aceh”. Lebih penting lagi, agama dan adat istiadat sebenarnya memiliki unsur universal, yang mengontrol perilaku sosial budaya masyarakat di suatu wilayah. Terkait agama, peraturan yang dimaksud dapat dibagi menjadi lima bagian: agama dapat mempunyai fungsi pendidikan, fungsi pertolongan, fungsi penyadaran, fungsi transformasi, dan fungsi pengawasan sosial.
Dalam konteks perkembangan kebudayaan Aceh, dapat dikatakan bahwa hasil proses asimilasi tersebut merupakan hasil percampuran berbagai kebudayaan dunia Islam. Hashim menjelaskan, Aceh mengalami proses percampuran budaya: akulturasi dan asimilasi. Setelah Islam mengukuhkan dirinya sebagai sumber nilai budaya, nilai-nilai budaya Aceh disesuaikan dengan ajaran Islam. Semuanya dilakukan secara tertib, dan variasi yang tidak berdampak besar dapat digunakan tanpa konflik. Fenomena perubahan sosial budaya masyarakat Aceh berubah mengikuti ritme perkembangan zaman itu sendiri, sehingga terjadi selaras dengan pengaruh dan hubungan antar budaya. Namun ketika asimilasi dan akulturasi dipaksakan, maka timbullah gesekan dalam masyarakat. Kenyataan ini dipaksakan, atau ada pemaksaan budaya, dan budaya Aceh mengambil langkah untuk menerimanya, sehingga berujung pada konflik. Puncak kebudayaan dan peradaban terjadi pada masa Kesultanan Iskandar Muda pada tahun 1607 hingga 1636. Budaya dan peradaban Aceh sangat terkenal hingga ke mancanegara. Kenyataan ini membuktikan bahwa masyarakat Aceh mampu membangun dan mengembangkan peradabannya sesuai prinsip Islam. Sebagaimana disebutkan di atas, kebudayaan yang berkembang pada masa ini erat kaitannya dengan hubungan antara sultan, ulama, dan kaum intelektual dalam membangun peradaban yang maju.
- Pengaruh Islam dalam Kebudayaan Aceh
Sebagaimana disebutkan di atas, Aceh memiliki ratusan tahun kehidupan dan peradaban Islam pada abad ke-16 dan ke-17. Islam telah menjadi keyakinan masyarakat Aceh dan telah memberikan warna dan pola tertentu dalam kehidupan masyarakat dalam segala aspek. Islam masuk ke Aceh pada abad ke-1 Masehi, mengislamkan tidak hanya masyarakat Aceh tetapi juga institusi dan nilai-nilai yang ada, termasuk adat istiadat. Adat istiadat dan adat istiadat yang pada pokoknya tidak bertentangan dengan Islam dibiarkan terus berlanjut, berkembang, dan memperoleh bobot Islami, sedangkan adat istiadat yang tidak sejalan dengan Islam lambat laun dihapuskan, dan ditambahkan unsur-unsur konsistensi baru. Proses Islamisasi lembaga dan tradisi dilakukan secara bertahap dan berkesinambungan, sehingga tidak terjadi pertentangan antara agama dan adat istiadat. Keduanya akan berjalan beriringan karena saling mendukung. Masyarakat Aceh yang dikenal sebagai masyarakat religius mempunyai akumulasi tradisi kehidupan beragama dimana agama merupakan kekuatan sosiokultural, dimana posisi ulama memegang peranan penting. Oleh karena itu, masyarakat Aceh yang taat beragama dan menjaga adat istiadat yang tinggi dalam berbagai aspek aktivitasnya tidak lepas dari pola interaksi kesatuan agama dan adat istiadat. Oleh karena itu, secara konseptual hubungan ulama dan umara merupakan suatu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan.
Berdasarkan konteks di atas, terlihat bahwa ulama dan umara saling bersinergi dan terintegrasi dalam seluruh kegiatan pengembangan masyarakat. Selain itu, bagi masyarakat Aceh, peraturan pemerintah dianggap sebagai perwujudan perintah Tuhan, artinya semua hukum yang berlaku harus ditaati. Berdasarkan syariat atau ajaran Islam, praktik penerapan Islam dapat dilihat dalam berbagai aspek kehidupan. Sebagaimana telah dijelaskan di atas, semangat adat yang selaras dengan Islam tampak dalam Hadi Majah “Adat Bak Potumeulhom Hukum Bak Siah Kuala, Adat Gon Hukom Lage That Sifeut” yang merupakan wujud falsafah hidup masyarakat Aceh. Ungkapan ini mengandung makna bahwa lembaga-lembaga negara tunduk pada kebijaksanaan pemerintah (Umara), sedangkan hukum yang berupa ajaran agama tunduk sepenuhnya pada kewenangan Umara.
Adat istiadat dalam suatu masyarakat tertentu bukan hanya sekedar adat istiadat yang diwariskan secara turun temurun, tetapi juga menjadi landasan hukum masyarakat tersebut. Adat istiadat masyarakat Aceh juga menjadi acuan keberlangsungan dan interaksi masyarakat dalam kehidupan. Bagi masyarakat Aceh, adat istiadat bukan sekadar ritual budaya, melainkan adat istiadat sehari-hari yang berdasarkan hukum. Kebiasaan yang disengaja menjadi pedoman dalam menjalani dan bertindak dalam kehidupan sehari-hari. Akumulasi tradisi kehidupan beragama di Aceh menunjukkan bahwa agama merupakan kekuatan sosiokultural. Usaha apa pun bisa berhasil jika para pemuka agama (ulama) dan pemerintah (umara) bersatu dalam perkataan dan perbuatan sesuai peran masing-masing. Selain agama, adat istiadat juga memegang peranan penting dalam masyarakat Aceh. Adat istiadat merupakan aturan sosial dalam masyarakat, dan agama merupakan pedoman hidup
Keduanya merupakan jabatan moneter, dan keduanya dijalankan oleh kepala negara (umara) dan pemuka agama (ulama). Oleh karena itu, dimanapun Anda berada atau dalam masyarakat apa Anda berada, adat istiadat tersebut pada dasarnya dapat beradaptasi dan mengikuti arah serta perubahan masyarakat yang mendukungnya. Adat istiadat masyarakat Aceh serupa. Dinamika kebiasaan itu telah dibuktikan dari masa ke masa dalam sejarah perkembangan masyarakat itu sendiri. Namun pergerakan dan arah perubahan harus mengikuti aturan main yang jelas. Sebab jika tidak, perubahan yang terjadi bisa saja lepas dari kontrol sosial dan tercabut dari akar fundamentalnya.
Dengan demikian, khususnya bagi masyarakat Aceh, praktik-praktik yang dahulu sah selalu “dibenarkan” dengan keyakinan terhadap nilai-nilai Islam dan ketaatan pada Islam. Artinya, adat-istiadat ini dapat berubah seiring dengan perubahan masyarakat, sesuai dengan izin Islam. Hal inilah yang mendasari ungkapan Adat ngon hukom lagee dzat ngon sipheut (adat dan hukum ibarat zat, sifat-sifatnya merupakan alat penyaring yang nyata). Sampai saat ini masyarakat menganut falsafah hidup yang tertuang dalam Hadi Majah di atas. Simbolisme budaya masyarakat Aceh bermula dari sejarah masa lalu, ketika penerapan syariat Islam dan syariat sudah melembaga dalam masyarakat, dan syariat itu sendiri tidak tinggal pada tataran norma, melainkan menjadi tradisi atau diamalkan dengan cara lain. Ini menunjukkan situasinya. Dengan kata lain, apa yang menjadi tradisi akan menjadi kebiasaan. Oleh karena itu, tidak berlebihan jika dikatakan bahwa syariat Islam merupakan bagian yang tidak terpisahkan dalam kehidupan masyarakat Aceh.
Adat istiadat dalam suatu masyarakat tertentu bukan hanya adat istiadat yang diwariskan secara turun-temurun, tetapi juga menjadi landasan hukum masyarakat tersebut. Adat istiadat Aceh juga menjadi acuan kelangsungan dan interaksi sosial dalam berbagai aspek kehidupan. Adat istiadat dalam masyarakat Aceh tidak hanya dipahami sebagai ritual budaya, tetapi juga sebagai adat istiadat sehari-hari yang menjadi landasan hukum. Kebiasaan yang disengaja menjadi pedoman hidup dan kehidupan. Adat istiadat menjadi budaya masyarakat Aceh melalui terbentuknya sistem sosial yang beradab dan bertahan hingga saat ini. Dalam kehidupan masyarakat Aceh, adat istiadat dan hukum adat tidak boleh bertentangan dengan agama. Keputusan yang diambil oleh para pemimpin dan ahli harus sesuai dengan ketentuan syariah. Jika bertentangan, hukum adat dihapuskan. Pak Ahmad menyampaikan bahwa di Aceh, adat berarti aturan-aturan hidup, aturan-aturan yang mengatur kehidupan masyarakat, dan aturan-aturan yang ditetapkan oleh para ulama dan ulama yang bijaksana, bersama dengan sultan Aceh dan Potumleuom. Aturan ini berlaku bagi seluruh masyarakat Aceh tanpa terkecuali, dan siapa yang melanggar akan dikenakan sanksi dan sanksi. Saat ini, aturan ini dikenal sebagai hukum umum.
Dalam konteks ini, mengenai falsafah hidup masyarakat Aceh, sebagaimana telah dijelaskan pada kata pengantar, Ahmad menjelaskan bahwa adat adalah hukum adat, kanun adalah adat, dan reusam adalah adat. Dalam hal ini adat atau hukum adat merupakan ajaran dan asas yang mengatur penyelesaian segala permasalahan yang timbul dalam masyarakat. Sedangkan kanun adalah adat yang memberikan bentuk atau pedoman dalam berinteraksi sosial dalam suatu masyarakat, reusam adalah adat yang memberikan bentuk atau pedoman dalam berinteraksi sosial dalam suatu masyarakat, sedangkan reusam adalah adat yang memberikan bentuk atau pedoman dalam berinteraksi sosial dalam suatu masyarakat. suatu masyarakat, sedangkan reusam adalah adat istiadat yang memberikan bentuk atau pedoman dalam berinteraksi sosial dalam suatu masyarakat, demikianlah arah upacaranya. -Ritual Kenduri, ritual khitanan. Ritual kelahiran meliputi permainan dan kesenian rakyat, dan semua upacara adat selalu diawali dengan upacara peusijuk (tepung sederhana). Aturan yang dimaksud adalah hukum adat. Keempat unsur tersebut berkaitan erat dan bermakna bahwa adat istiadat, seperti kanun, reusam, dan adat, tidak boleh bertentangan dengan hukum. Keempat unsur tersebut bersinergi membentuk penghidupan dan tata kelola sosial masyarakat Aceh serta mampu menjaga keharmonisan dan stabilitas sosial.
- Pasang Surut Kebudayaan Ace
Keberagaman budaya bangsa Indonesia membuat pendekatan pembangunan setiap daerah harus selaras dengan nilai-nilai masyarakat. Meskipun unsur-unsur pembangunan sama di semua tempat, seperti kebutuhan investasi swasta di bidang infrastruktur transportasi, pendidikan, dan layanan kesehatan, perencanaan tidak dapat dipisahkan dari pertimbangan budaya lokal. Itu di tingkat lokal. Kita juga perlu menyadari bahwa setiap komunitas seringkali memiliki sistem budaya yang berbeda-beda dan perlu dipahami dan dihormati. Untuk itu diperlukan adanya adat istiadat yang tanggap terhadap perubahan zaman dan masyarakat. Banyak kebiasaan lama yang mungkin perlu diubah, diganti, atau setidaknya ditafsirkan ulang. Tidaklah mungkin untuk sepenuhnya menerapkan seluruh adat istiadat kuno yang tersebar luas pada masyarakat terdahulu hingga saat ini, dimana kondisi sosial masyarakatnya sangat berbeda. Meski syariat Islam bukanlah hal baru bagi masyarakat Aceh, namun berbagai sikap dan perilaku masyarakat Aceh saat ini sudah jauh dari budaya Islam. Oleh karena itu, solusinya adalah dengan memperkenalkan kembali prinsip-prinsip hukum Islam seperti yang ada di masyarakat, dan memperbaiki tatanan kehidupan Islam di masyarakat Aceh memerlukan kekuatan dan upaya semua pihak.
Rekonstruksi dan restrukturisasi pada umumnya didasarkan pada pertimbangan yang ditentukan oleh paling sedikit tiga faktor penting. Pertama, tuntutan reformasi menyeluruh terhadap kehidupan masyarakat Indonesia. Hal ini merupakan bentuk perubahan cara hidup lama yang totaliter dan terpusat yang mengekang masyarakat Indonesia. Kebebasan mengembangkan diri sesuai fitrah manusia menuju kehidupan yang lebih demokratis. Kedua, tuntutan globalisasi tidak memberikan pilihan lain bagi masyarakat untuk sukses di dunia ini dan hidup aman di akhirat. Namun, hal ini merupakan upaya untuk mengantisipasi pengaruh arus budaya luar yang sangat berbeda akibat globalisasi di seluruh dunia dan memastikan bahwa mereka tetap mempertahankan eksistensinya tanpa tercerabut dari akar budayanya sendiri.Kecuali pada poin tersebut. Ketiga, adanya tuntutan otonomi daerah. Hal ini pada dasarnya adalah kebutuhan akan sumber daya manusia yang berkualitas, memiliki keilmuan dan keilmuan yang besar, yang dapat membangun daerah dan masyarakat yang maju di tengah dunia global ini tanpa terputus dari masyarakat. Akar budaya, tradisi.
Penegakan hukum Islam di Aceh adalah wajib. Kewajiban dari Allah, kewajiban sejarah, kewajiban kemanusiaan, dan kewajiban budaya Aceh. Perkembangan dan pelaksanaannya didasarkan pada pengalaman sejarah selama berabad-abad, penerimaan masyarakat terhadap Islam sebagai pedoman hidup, falsafah hidup yang telah mencapai puncak prestasinya, serta metodologi mewujudkan Islam. pada Sebagaimana tercermin pada aksen istilah Hadi di atas, tataran hukum syariah dan nilai-nilai budaya Aceh membentuk masyarakat dengan pedoman yang sangat harmonis. Secara hukum, bentuk penerapan syariat Islam di Aceh mendapat dukungan kuat dengan disahkannya Undang-undang Nomor 44 Tahun 1999 tentang pelaksanaan keistimewaan Aceh dalam empat bidang: Penegakan Islam menjadi hukum. Kedua, memperkuat, memelihara dan mengembangkan lembaga-lembaga adat dan adat yang mendalami dan sejalan dengan syariat Islam. Ketiga, kita akan mengembangkan pendidikan dengan menambahkan muatan lokal (local knowledge) sejalan dengan perkembangan pendidikan dan lembaga pendidikan Islam. Keempat, memberikan peran kepada ulama dalam menentukan pemerintahan, pembangunan, dan kebijakan sosial di Aceh.
Landasan pelestarian dan pengembangan kebudayaan dan adat istiadat Aceh didasarkan pada Pasal 32 UUD 1945 yang menyatakan bahwa kebudayaan lokal merupakan akar kebudayaan nasional. Kebudayaan daerah merupakan aset bangsa yang merupakan modal dan inspirasi bagi pengembangan dan pengayaan kebudayaan nasional, oleh karena itu kebudayaan daerah harus dilestarikan dan dikembangkan oleh setiap daerah. Perkembangan kebudayaan Aceh juga didasari oleh Undang-Undang Nomor 44 Tahun 1999 tentang Keistimewaan Daerah Istimewa Aceh dan diperkuat dengan lahirnya Undang-Undang Nomor 44 Tahun 1999. Nomor 18 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus dan Peraturan Daerah Daerah Istimewa Aceh Nomor 7 Tahun 2000 tentang Penerapan Pola Hidup Adat. Undang-undang ini, yang diawali dengan peneguhan undang-undang di atas, memberikan landasan yang kuat dan inspirasi yang mendalam bagi upaya menata dan mewariskan kebudayaan Aceh berdasarkan ajaran Islam. Upaya tersebut penting dilakukan sebagai bagian dari upaya melestarikan dan mengembangkan budaya Aceh sebagai budaya nasional. Untuk itu, sistem kebudayaan yang akan dikembangkan ke depan akan menjadikan kebudayaan sebagai bagian penting (kurikulum inti) dari sistem yang diterapkan di wilayah ini, dan melalui upaya tersebut, perasaan khawatir dan cemas yang tercermin dalam ekspresi mereka akan semakin menguat. bahwa hal itu akan terselesaikan. Mati anuuk mupat jurat, gado adat pat tamita.”
Selain faktor-faktor di atas, perjalanan sejarah juga mengarah ke Aceh yang diawali dengan pemberlakuan syariat Islam secara formal berdasarkan Undang-Undang Nomor 44 Tahun 1999 tentang Keistimewaan Daerah Istimewa Aceh Sebagai Provinsi Nangroe Aceh Darussalam. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2016 tentang UUPA memperkuat kebudayaan Aceh berdasarkan syariat Islam. Selain kekhasan bidang pendidikan, agama dan budaya yang berlaku di Aceh berlandaskan Al-Qur’an dan Hadist yang menjadi sumber ajaran Islam, serta dijiwai dengan ruh budaya Islam Aceh. Hal ini tentu saja untuk menghasilkan masyarakat Aceh yang beriman dan bertaqwa kepada Allah, memiliki SWT (kecerdasan spiritual), akrakul kalima (kecerdasan emosional), dan mampu menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi (kecerdasan intelektual). Citra sosial inilah yang menjadi prototipe masyarakat sipil yang ingin dicapai oleh komunitas Muslim Aceh melalui penerapan syariat Islam di provinsi Aceh.
Suasana spiritual tanah air yang dijiwai nilai-nilai agama, khususnya Islam, pada akhirnya merupakan aspek budaya yang tercermin dalam seluruh aspek kehidupan, khususnya kehidupan beragama, masyarakat Aceh pada khususnya, dan masyarakat Indonesia pada umumnya. ,membentuk misalnya rasa cinta terhadap suku seseorang. Menghargai tanah air dan satu sama lain. Sesama warga yang terkasih, marilah kita pantang menyerah membela kebenaran, bersikap baik hati, berbicara sopan, bertindak berintegritas, mengambil keputusan dengan adil, menghargai perbedaan, dan menjunjung tinggi nilai-nilai bersama. Tentu kita sepakat bahwa kebudayaan di sini berarti segala hasil kreativitas, cita rasa, karya, dan spontanitas manusia yang mempunyai dampak positif yang berarti bagi kehidupan masyarakat. Benang merah nilai-nilai budaya negeri ini yang kita warisi dari nenek moyang kita merupakan modal utama kita dalam mencapai kemandirian dan pembangunan monumental yang berakar pada nilai-nilai agama. Sebab kebudayaan itu bisa mempunyai nilai yang monumental. Hal ini dapat membentuk perkembangan peradaban dan kemajuan kelompok, masyarakat, bahkan bangsa.
KESIMPULAN
Jurnal ini diakhiri dengan menyebutkan langkah-langkah konkrit untuk menyelesaikan permasalahan kompleks yang dihadapi bangsa dan negara Indonesia di saat eksistensi persatuan dan kohesi bangsa sedang diuji. Melihat berbagai indikator perpecahan dalam kehidupan masyarakat Indonesia saat ini, seperti krisis politik yang terjadi saat ini yang berdampak pada persatuan dan integrasi, apakah persatuan dan kesatuan tersebut akan terus ada ataukah konsep dan persatuan tersebut akan terus ada dan kesatuan nasional. Dalam upaya mencapai persatuan dan kesatuan bangsa, banyak faktor yang dijadikan landasan, antara lain etika, moral, budaya, dan aturan agama. Semua itu dianggap sebagai perekat persatuan dan kesatuan bangsa. Jika kita memperhatikan keterbatasan definisi ini, maka menjadi jelas bahwa etika, moralitas, dan budaya pada hakikatnya adalah satu. Dengan kata lain, ketiganya dapat disebut sebagai budaya dimana pengetahuan dan keyakinan menyatu, sebagai produk kreativitas, hobi, dan kerja manusia. Ini termasuk seni, moral, dan adat istiadat. Budaya ini dapat dijadikan kerangka acuan (cetak biru) untuk menjawab berbagai permasalahan yang dihadapi seseorang. Dengan demikian, kebudayaan tampil sebagai suatu institusi yang terus dipelihara oleh para pendirinya dan generasi penerus yang mewarisi kebudayaan tersebut. Etika, moral, budaya, dan aturan agama banyak berperan dalam membimbing suatu masyarakat untuk membentuk masyarakat sejahtera lahir dan batin, termasuk membentuk persatuan dan kesatuan bangsa. Dalam mengembangkan kebudayaan Aceh berdasarkan syariat Islam dapat menjadi landasan yang kuat dan memberikan inspirasi yang mendalam bagi upaya menata dan mewariskan kebudayaan Aceh berdasarkan syariat Islam. Upaya tersebut penting sebagai bagian dari upaya melestarikan dan mengembangkan budaya Islam Aceh sebagai budaya nasional. Oleh karena itu, praktik dan pembangunan budaya di Aceh tidak bisa lepas dari budaya dan nilai-nilai Islam. Dengan kata lain, sistem kebudayaan yang dikembangkan di Aceh harus konkrit, berlandaskan nilai-nilai budaya dan bersumber dari ajaran Islam. Mengekspresikan keunikan Aceh dan perwujudan otonomi khusus.
Penulis : Ai Atikah, Nyimas Dinar Misik , Ajeng Purnama Dewi ,Lina Pusvisasari
Editor : Abqo Robbani